December 25, 2009

Teman

Note: Bacaan favorit saya di Koran Kompas Minggu selain komik strip Benny&Mice serta Timun mungkin adalah kolom parodi oleh Samuel Mulia. Kenapa? Karena apa yang dia tulis buat saya sangat menggelitik. Topik yang dibahas tidak berat, cukup tentang gaya hidup serta day-to-day activities, tapi dengan cara pembahasan yang semau gue dan jujur. Terus terang saja, setiap kali habis baca kolom Samuel Mulia, saya langsung mengangguk-ngangguk sambil membatin “iya juga ya.. bener banget nih..” *baik itu pembenaran karena saya dengan bodohnya juga melakukan hal yang dikritisi penulis maupun sekedar menyetujui pendapat penulis*. Sejujurnya niy, kalo bisa saya pengen buat kliping tulisan2nya Mas Samuel ini. Lumayan buat dibaca-baca lagi suatu hari nanti..

Excerpt from Teman. Samuel Mulia’s column Kompas, 20122009
Berhitung
Pernah saya bertanya kepada diri sendiri soal pertemanan. Kalau saya seorang teman, apakah saya punya kewajiban tak tertulis harus ini dan itu? Kalau saya berteman, apakah artinya harus memberi tahu seluruh kegiatan saya kepada mereka? Dan kalau saya tak memberi tahu dan kemudian mereka naik pitam, bukankah itu hak saya sebagai teman untuk tidak berbagi semua aktivitas saya?
Kalau membuat pesta apakah saya wajib mengundang teman-teman dekat bukan sahabat, supaya mereka tak tersinggung? Bagaimana kalau sesekali waktu saya ingin keluar dari pertemanan dua puluh empat jam itu tanpa menyinggung mereka? Apakah akhirnya yang dimaksud saya sebagai makhluk social adalah mengeliminir kehidupan pribadi?
Sekarang saya tahu mengapa saya bukan teman yang baik: saya tak mampu melakukan kewajiban serta menanggung risiko dan tuntutan pertemanan itu, dari manusia yang berharap banyak kepada saya. Sama seperti mengapa saya mau mencintai dan dicintai, tetapi tak suka risiko mencintai dan dicintai. Saya tak suka keribetannya dalam berhubungan. Belum memikirkan mood pasangan yang naik-turun.
Sama seperti mood teman-teman saya yang naik-turun. Contoh kecil saja. Ada teman yang baik, tetapi kalau bertemu di pesta tiba-tiba menjadi makhluk berbeda, menjaga jarak, seperti baru berkenalan lima hari lalu. Itu membingungkan, itu memainkan emosi, dan itu menyebalkan. Nah, itu yang tak bisa saya tanggung, tak sanggup tepatnya. Dan saya dihakimi karena ketidakmampuan saya, karena ketidakmauan berisiko.
Saya mulai mikir, ternyata jadi teman lebih berat ketimbang ujian UMPTN. Semua terkait emosi, perasaan, bukan logika. Kalaupun logika, sedikit sekali digunakan. Sampai pernah sekali waktu saya berpikir mending enggak punya teman. Banyak kewajiban tak bisa saya penuhi, yang bisa mengecewakan mereka. Karena seperti semua hal di dunia, bukan hanya karena senang melakukan, tetapi apakah mampu dilakukan. Senang dan mampu itu berbeda seperti laki dan perempuan.
Jadi, apakah berteman sama dengan berhitung? Sana kasih lima, sini wajib kasih lima? Bagaimana kalau saya hanya mampu memberi tiga, karena bukan saya tak mau, tetapi saya tak mampu? Nurani saya bilang begini, “Itulah kenapa kamu disebut egois. Bersyukurlah ada yang mau berteman dengan kamu. Mereka itu selalu mau menerima kalau lo bisanya cuma kasih tiga atau malah kurang dari itu..”

Waktu pertama baca kolom ini, saya rasanya ingin menjitak habis-habisan si penulis. Rasanya pengen teriak, ya ampun mas.. egois banget siy. Hehehe.. mungkin sekaligus pelampiasan emosi, karena well.. terus terang saya merasa saya dikelilingi oleh orang-orang macemnya Mas Samuel ini. Yang calling saya cuma kalo ada butuh doang lah, yang ngajak jalan karena butuh tebengan lah, yang nanyain kabar terus ujung2nya minjem duit lah, oh..ada satu lagi.. yang nyapa saya cuma buat ngorek2 informasi.. *maklum..saya memang orang yang cukup berpengetahuan..haha..*. intinya orang-orang yang begitu udah dapet maunya langsung lupa blassss.
Tapi setelah baca lebih lanjut, ternyata saya cukup identik dengan si penulis namun dari sisi yang berbeda. Kalau dia males punya teman karena takut banyak kewajiban gak bisa dia penuhi, kalau saya males punya teman karena mereka belum tentu bisa memenuhi tuntutan kewajiban dari saya. Hehehe.. iya.. pertemanan memang masalah emosi, masalah perasaan, dan saya akhirnya *setelah terjatuh dan terbangun* memilih untuk tidak memakai perasaan ketika berteman. Cukup tau aja, kalau kita cuma temen haha-hehe.. saya tidak berharap banyak sama kamu, oleh karena itu saya tidak perlu selalu ada untuk kamu. Mm..kalo kata orang bulenya mungkin Friends With Benefits, no benefits then we’re no friends.

Kilas Parodi: Kalau Mau Jadi Teman, Bukan Jadi Sahabat
By Samuel Mulia

  • Kalau seperti saya yang berteman saja sudah membuat kewalahan, jangan berani-berani berkomitmen menjadi sahabat. Teman dan sahabat bedanya seperti musim panas dan musim dingin…
  • Huh? Komitmen? Memang ada komitmen kalau jadi sahabat? Ini jawaban nurani saya, “Yaa,,, iyalah,,,” kalau Anda tak setuju, gak papa juga. Nurani anda dan saya beda. Nurani orang egois dan yang tidak, itu beda!
  • Saya yakinkan Anda tak akan penah jadi teman yang baik selamanya. Jadi, jangan coba-coba jadi teman sempurna. Sempurna itu tidak ada. Akan datang masanya kebaikan Anda akan dilupakan karena kesalahan yang Anda buat. Maka, percayalah pada peribahasa, karena nila setitik rusak susu sebelanga.Tetapi saya membaca kutipan dari penulis Amerika seperti ini: You can kiss you family and friends good bye and put miles between you, but at the same time you carry them with you in your heart, your mind, your stomach, because you do not just live in a world but a world lives in you (Frederick Buechner).
  • Siapkan diri sebelum mulut mengatakan mau berteman. Saya tersinggung ketika beberapa kali teman saya mengahak temannya berkenalan dengan saya. Jawabannya selalu sama “Aduh, gue gak siap, ntar dulu deh kenalan sama Samuel.”. Persiapannya lebih mental daripada mulut. Mental itu untuk menerima manusia bernama teman dengan segala perilakunya. Nah, untuk semua itu Anda benar-benar harus siap supaya jangan kesal dibuatnya.
  • Ingat, teman Anda adalah manusia! Manusia itu berubah. Kadang itu mengecewakan. Kalau itu terjadi, mulutnya dilem saja. Saya punya lem yang sekali dioleskan tak bisa dilepaskan. Hubungi saya kalau perlu satu tube.
  • Terima saja manusia itu apa adanya. Jangan ada harapan dalam berteman. Tak ada gunanya. Menerima itu gampang dikatakan, susah dilakoni. Itu pekerjaan rumah kalau Anda mau berteman. Bukankah dalam hidup ada harga dan risiko yang harus Anda bayar dan tanggung?
  • Buat jarak dengan teman. Itu penting, kalau tidak, keretakan pertemanan lebih mudah terjadi. Makanya jangan pernah mencintai manusia 100 persen. Mereka bisa mengecewakan. Seratus persen itu cuma buat Sang Khalik. Ditanggung tak pernah mengecewakan.
  • Pilih teman Anda. Itu perlu. Kalau bisa yang membuat Anda maju ke depan dan tidak mundur ke belakan. Maksud saya, maju ke depan itu bukan ke depan jurang juga.

Ini dia niy.. ternyata pada akhirnya kita memang mengambil kesimpulan yang sama. Choose your friend wisely. Oleh karena itu saya mengkategorikan orang-orang yang saya kenal dalam tiga kelompok, pertama teman haha-hehe, kedua teman, ketiga sahabat. Bedanya dimana? Kalo yang pertama biasanya cuma saya kontak kalo saya lagi butuh refreshing atau butuh2 yang lainnya. Kategori kedua hmm.. biasanya suka saya update kabarnya. Terus kalo lagi suntuk bolehlah saya denger curhatnya. Nah.. kalo yang kategori ketiga niy.. pintu rumah saya selalu terbuka buat dia. Mungkin buat dia, ibu saya udah kaya ibu dia, dan rumah saya sudah seperti rumah sendiri. Hahaha..
Saya tidak berharap kepada orang lain, tapi lebih tepatnya saya menuntut. Sekali kamu tidak memenuhi tuntutan saya, maka kamu turun kasta dalam daftar pertemanan saya. *aih..jangan-jangan orang macem saya ini ya yang dihindari Samuel Mulia*

0 Comments:

 

Fioritura Fiori Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template